Oleh: Ahmad Ruhiat
amazon.ca |
Bacasaza – Hamid Muhamad . Ph.D. mengatakan dalam sambutannya
di buku
panduan Praktis Gerakan Literasi Sekolah, bahwa Literasi adalah jawaban
untuk bersaing di tingat global. Word Ekonomy Forum Tahun 2015 merumuskan 16 Kompetensi abad 21 yang harus dikuasai siswa dan
literasi menjadi kunci utamanya. Berbagai studi
internasional seperti PIRLS, PISA, dan TIMSS menunjukkan pencapaian
literasi menjadi pertimbangan dalam
pengambilan keputusan negara-negara maju dan berkembang (Direktorat Jenderal Pendidikan
Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017).
Apa yang dikemukakan Muhamad mencerminkan bahwa literasi
merupakan kegiatan yang utama untuk mencapai 16 kompetensi. Gerakan Literasi Sekolah (GLS) lahir
berdasarkan terbitnya Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 Tentang pertumbuhan Budi
Pekerti.
Saking seriusnya pemerintah dalam mewujudkan budaya
literasi di dunia lembaga pendidikan sekolah, berbagai gerakan literasi
diprogramkan dan dijalankan. Begitu juga berbagai buku panduan literasi sekolah
diterbitkan untuk menunjang keberhasilan gerakan literasi ini. Tahap demi tahap
direalisasikan dan diimpelemntasikan di tiap sekolah mulai dari jenjang sekolah
dasar hingga sekolah menengah atas.
Namun sepertinya hasil yang diharapkan belum mencapai
target. Masih banyak sekolah yang belum maksimal melaksanakan GLS (Gerakan
Literasi Sekolah), baik dari aspek perpustakaan yang masih minim buku bacaan
(sarana & prasarana), sumber daya pengelola program literasi sekolah
(SDS-sumber daya sekolah) yang tidak mumpuni dan terbatas, maupun pelaksanaan
teknis pembentukkan siswa untuk berliterasi
(implementasi pembudayaan literasi bagi siswa) yang belum intens dan berkelanjutan.
Sejak digulirkannya gerakan literasi sejak tahun 2015,
Kemendikbud mengharapkan Program ekosistem sekolah yang literat dapat terwujud,
namun sudah empat tahun berjalan sejak tahun 2015, masih terdapat banyak
sekolah yang menghadapi banyak kendala dalam merealisasikan program literasi
tersebut.
Persoalan mendasar yang memprihatinkan semua pihak
adalah datang dari individu kepala sekolah dan guru itu sendiri. Di mana masih
terdapat banyak kepala sekolah dan guru yang minim berliterasi (membaca dan
menulis). Padahal kepala sekolah dan guru menjadi role model utama di lingkungan sekolah dalam mewujudkan siswa yang
literat.
Sebagaimana yang
dijelaskan oleh Kisyani-Laksono dalam buku Seri Manual GLS Guru Sebagai Teladan
Literasi, terbitan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2019: 10).
Pertama, guru sebagai penggerak Literasi. Guru sebagai penggerak
literasi melaksanakan program-program literasi dengan bersemangat. Beberapa
sekolah menciptakan semangat dan gelora baru dalam gerakan literasi. Selain
guru, kepala sekolah pun ikut menggelorakan semangat gerakan literasi dengan
membuat berbagai program. Beberapa sekolah mulai merintis pojok baca di setiap kelas dan ruang sekolah, ada juga Program Limas
(Literasi Margahayu Satu) dan banyak program literasi yang dilakukan di sekolah
lain, program penulisan buku bagi guru dan siswa; gerobak baca di sekolah, taman baca yang terus berkembang di setiap sekolah, dll.
Kedua, 2. Teladan Membaca: Pembiasaan Strategi
Membaca. Guru yang telah melakukan strategi membaca
efektif dapat menyebarkannya kepada para siswanya. Dalam hal ini—sebagai salah
satu cara--dapat dibentuk kelompok-kelompok baca. Satu kelompok dapat terdiri
atas 4—6 orang yang membaca buku yang sama dengan strategi membaca efektif yang
diarahkan oleh guru.
Setelah para anggota kelompok menyelesaikan bacaan mereka
masing-masing, dilakukan diskusi dengan pancingan-pancingan kreatif (pertanyaan/arahan)
guru. Dimungkinkan dari tiap kelompok akan memunculkan ide atau kreasi yang
inovatif berdasarkan naskah yang telah dibaca. Kelompok baca sekarang sudah
mulai banyak terbentuk. Bahkan ada surat kabar yang ikut memopulerkan hal ini dengan
membentuk kelompok baca yang berasal dari siswa beberapa sekolah. Satu buku
dibaca, kemudian dibahas bersama sehingga pendapat bisa saling mengisi, diskusi
menjadi hidup, dan para siswa akan menjalin komunitas dengan baik.
Ketiga, teladan Menulis (Buku Guru yang Diterbitkan). Guru yang baik tidak hanya akan meminta siswa menulis. Dia juga
memberikan teladan dengan menulis karya. Tenaga kependidikan di sekolah bisa
juga menulis. Saat ini, banyak guru (termasuk kepala sekolah) yang sudah
menerbitkan karya, memberi teladan, dan ikut mengoordinasikan supaya warga
sekolah termasuk siswa ikut menerbitkan karya juga. Intinya, jika kita minta
siswa mengerjakan sesuatu, seyogianya kita juga bisa mencontohkan hal tersebut.
Kemampuan siswa yang akhirnya melejit melampaui kemampuan gurunya sangat
diharapkan.
Akhirnya, dalam membangun
eksositem sekolah yang literat membutuhkan konsistensi dan kemauan semua pihak.
Kepala sekolah dan guru diharapkan menumbuhkembangkan potensi dirinya menjadi
literat yang dapat menjadi suri teladan bagi peserta ddiknya di sekolah.
Guru-guru dulu berliterasi, siswa kemudian mengikuti dan meneladani guru panutannya.