Baca Kilas

Monday, November 11, 2019

bacasaza

Guru-Guru Dulu Berliterasi, Siswa Kemudian



Oleh: Ahmad Ruhiat


amazon.ca
Bacasaza – Hamid Muhamad . Ph.D. mengatakan dalam sambutannya di  buku  panduan Praktis Gerakan Literasi Sekolah, bahwa Literasi adalah jawaban untuk bersaing di tingat global. Word Ekonomy Forum Tahun 2015  merumuskan 16 Kompetensi  abad 21 yang harus dikuasai siswa dan literasi menjadi kunci utamanya. Berbagai studi  internasional seperti PIRLS, PISA, dan TIMSS menunjukkan pencapaian literasi menjadi pertimbangan  dalam pengambilan keputusan negara-negara maju dan berkembang (Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017).

Apa yang dikemukakan Muhamad mencerminkan bahwa literasi merupakan kegiatan yang utama untuk mencapai 16 kompetensi.  Gerakan Literasi Sekolah (GLS) lahir berdasarkan terbitnya Peraturan Menteri  Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 Tentang pertumbuhan Budi Pekerti.

Saking seriusnya pemerintah dalam mewujudkan budaya literasi di dunia lembaga pendidikan sekolah, berbagai gerakan literasi diprogramkan dan dijalankan. Begitu juga berbagai buku panduan literasi sekolah diterbitkan untuk menunjang keberhasilan gerakan literasi ini. Tahap demi tahap direalisasikan dan diimpelemntasikan di tiap sekolah mulai dari jenjang sekolah dasar hingga sekolah menengah atas.

Namun sepertinya hasil yang diharapkan belum mencapai target. Masih banyak sekolah yang belum maksimal melaksanakan GLS (Gerakan Literasi Sekolah), baik dari aspek perpustakaan yang masih minim buku bacaan (sarana & prasarana), sumber daya pengelola program literasi sekolah (SDS-sumber daya sekolah) yang tidak mumpuni dan terbatas, maupun pelaksanaan teknis pembentukkan siswa untuk berliterasi  (implementasi pembudayaan literasi bagi siswa) yang belum intens dan berkelanjutan.

Sejak digulirkannya gerakan literasi sejak tahun 2015, Kemendikbud mengharapkan Program ekosistem sekolah yang literat dapat terwujud, namun sudah empat tahun berjalan sejak tahun 2015, masih terdapat banyak sekolah yang menghadapi banyak kendala dalam merealisasikan program literasi tersebut.

Persoalan mendasar yang memprihatinkan semua pihak adalah datang dari individu kepala sekolah dan guru itu sendiri. Di mana masih terdapat banyak kepala sekolah dan guru yang minim berliterasi (membaca dan menulis). Padahal kepala sekolah dan guru menjadi role model utama di lingkungan sekolah dalam mewujudkan siswa yang literat.

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Kisyani-Laksono dalam buku Seri Manual GLS Guru Sebagai Teladan Literasi, terbitan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2019: 10).

Pertama, guru sebagai penggerak Literasi. Guru sebagai penggerak literasi melaksanakan program-program literasi dengan bersemangat. Beberapa sekolah menciptakan semangat dan gelora baru dalam gerakan literasi. Selain guru, kepala sekolah pun ikut menggelorakan semangat gerakan literasi dengan membuat berbagai program. Beberapa sekolah mulai merintis pojok baca di setiap kelas dan ruang sekolah, ada juga Program Limas (Literasi Margahayu Satu) dan banyak program literasi yang dilakukan di sekolah lain, program penulisan buku bagi guru dan siswa; gerobak baca di sekolah, taman baca yang terus berkembang di setiap sekolah, dll.

Kedua, 2. Teladan Membaca: Pembiasaan Strategi Membaca. Guru yang telah melakukan strategi membaca efektif dapat menyebarkannya kepada para siswanya. Dalam hal ini—sebagai salah satu cara--dapat dibentuk kelompok-kelompok baca. Satu kelompok dapat terdiri atas 4—6 orang yang membaca buku yang sama dengan strategi membaca efektif yang diarahkan oleh guru.

Setelah para anggota kelompok menyelesaikan bacaan mereka masing-masing, dilakukan diskusi dengan pancingan-pancingan kreatif (pertanyaan/arahan) guru. Dimungkinkan dari tiap kelompok akan memunculkan ide atau kreasi yang inovatif berdasarkan naskah yang telah dibaca. Kelompok baca sekarang sudah mulai banyak terbentuk. Bahkan ada surat kabar yang ikut memopulerkan hal ini dengan membentuk kelompok baca yang berasal dari siswa beberapa sekolah. Satu buku dibaca, kemudian dibahas bersama sehingga pendapat bisa saling mengisi, diskusi menjadi hidup, dan para siswa akan menjalin komunitas dengan baik.

Ketiga, teladan Menulis (Buku Guru yang Diterbitkan). Guru yang baik tidak hanya akan meminta siswa menulis. Dia juga memberikan teladan dengan menulis karya. Tenaga kependidikan di sekolah bisa juga menulis. Saat ini, banyak guru (termasuk kepala sekolah) yang sudah menerbitkan karya, memberi teladan, dan ikut mengoordinasikan supaya warga sekolah termasuk siswa ikut menerbitkan karya juga. Intinya, jika kita minta siswa mengerjakan sesuatu, seyogianya kita juga bisa mencontohkan hal tersebut. Kemampuan siswa yang akhirnya melejit melampaui kemampuan gurunya sangat diharapkan.

Akhirnya, dalam membangun eksositem sekolah yang literat membutuhkan konsistensi dan kemauan semua pihak. Kepala sekolah dan guru diharapkan menumbuhkembangkan potensi dirinya menjadi literat yang dapat menjadi suri teladan bagi peserta ddiknya di sekolah. Guru-guru dulu berliterasi, siswa kemudian mengikuti dan meneladani guru panutannya.

Selanjutnya
« Prev Post
Sebelumnya
Next Post »