Amalan Orangtua Sehari-hari
Oleh: A.Ruhiat
qurann.ir. |
Bacasaza - Seiring pasangan suami dan isteri harus
menunaikan kewajibannya satu sama lain, pada saat yang bersamaan pasutri juga
berperan sebagai orangtua, yang berkewajiban besar dalam hal mendidik, membina
dan membahagiaankan anak-anaknya sesuai syariat yang diterangkan dalam Al-Quran
dan Sunnah.
Dalam Islam, kewajiban orangtua kepada
anak-anaknya, tidak hanya di ‘gong’-kan pada saat anak lahir, melainkan ketika
pasangan suami isteri berniat memiliki anak, saat berhubungan isteri, ketika
isteri hamil, pemberian nama untuk anak, ketika anak lahir, mendidik dan bina
sampai berumah tangga.
Dalil kewajiban orangtua ini diawali
dengan perintah-Nya kepada kita untuk memelihara diri dan keluarga, serta
dimintainya pertanggungjawaban setiap individu manusia. Dalam Al-
Quran. Allah swt. berfirman dalam surat at-Tahrim ayat 6
telah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka…”.
Sabda Rasulullah saw,“Setiap kalian
adalah ra’in (seorang penjaga, yang diberi amanah ) dan setiap
kalian akan ditanya tentang ra’iyahnya. Imam a’zham (pemimpin negara) yang
berkuasa atas manusia adalah ra’in dan ia akan ditanya tentang ra’iyahnya.
Seorang lelaki/suami adalah ra’in bagi ahli bait (keluarga)nya dan ia akan
ditanya tentang ra’iyahnya. Wanita/istri adalah ra’iyah terhadap ahli bait
suaminya dan anak suaminya dan ia akan ditanya tentang mereka...”(H.R.
Bukhari dan Muslim).
Anak shaleh akan lahir dari orangtua yang
shaleh. Masa depan anak (akidah, tauhid, dan akhlaknya) amat tergantung pada
pendidikan dan pembinaan orangtua di rumah. Anak merupakan amanat Allah
swt. yang terakhir dalam keadaan suci. Sebagaimana yang Rasul
saw. sabdakan, “Setiap anak terlahir dalam keadaan suci (fitrah)”.
Allah swt. berfirman, “Harta dan
anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal dan
shaleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Rabb-mu serta lebih baik untuk
menjadi harapan." (Q.S. al-Kahfi [18]: 46). Perintah untuk menjadikan anak shaleh menjadi hal utama.
Perintah ini berlaku sama untuk suami dan isteri yang tentunya dianugerahi
anak. Di dalam syariat Islam, anak yang lahir ke dunia ini
memiliki hak-hak dan kewajiban khusus yang harus ditunaikan oleh
orang tuanya.
Lima kewajiban orangtua saat dianugarui Anak
Dalam hadits, Rasulullah saw.
saw. bersabda, "Tangisan seorang bayi ketika (baru)
dilahirkan adalah tusukan (godaan untuk menyesatkan) dari setan".(H.R.
Muslim). Dalam hadits lain, Bersabda Rasulullah
saw, “Apabila
salah seorang darimu ketika mendatang istrinya membaca: dengan nama Allah, ya
Allah, jauhkanlah kami dari syetan dan jauhkan syetan dari anak yang akan
Engkau karuniakan kepada kami, maka apabila ditakdirkan mempunyai anak, setan
tidak akan membahayakan anaknya “(H.R. Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian, hal pertama ketika kita
dianugerahi anak, kita perlu
membentenginya dari perbuatan setan dengan senantiasa
berdoa kepada Allah swt. dalam hadits, Rasul saw. pernah berdo’a dan mentahnik (mengoleskan
kurma yang sudah dikunyah atau madu di langit-langit mulutnya). Adalah Abu Musa
ketika putranya lahir, dibawalah kepada Rasulullah saw, maka Rasulllah pun memberikan nama Ibrahim
kepadanya, mentahniknya dan mendo’akannya kebaikan “(H.R. Bukhari
dan Muslim).
Dalam Al-Quran, kita diperintahkan uuntuk
senantiasa bergembira dan bersyukur kepada-Nya. Allah swt. berfirman “Dan Sesungguhnya
utusan-utusan kami (Malaikat-malaikat) Telah datang kepada lbrahim dengan
membawa kabar gembira, mereka mengucapkan: “Selamat.” Ibrahim menjawab:
“Selamatlah,” Maka tidak lama Kemudian Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi
yang dipanggang. Maka tatkala dilihatnya tangan mereka tidak menjamahnya,
Ibrahim memandang aneh perbuatan mereka, dan merasa takut kepada
mereka. Malaikat itu berkata: “Jangan kamu takut, Sesungguhnya kami adalah
(malaikat-ma]aikat) yang diutus kepada kaum Luth.” Dan isterinya berdiri
(di balik tirai) lalu dia tersenyum, Maka kami sampaikan kepadanya berita
gembira tentang (kelahiran) Ishak dan dari Ishak (akan lahir puteranya) Ya’qub.
(Q.S. Huud: 69-71). Keterangan lainnya dapat juga dilihat dalam (QS. 11 : 69-71
/ 3 : 39 / 16 : 58-59).
Selanjutnya adalah memberikan nama yang
baik. Memberikan nama yang baik harus mengandung makna dan sifat yang baik
pula. Sedari awal nawaitunya adalah semata-mata karena Allah dan awal
upaya untuk menjadikan anak yang shaleh dan shalehah. Rasulullah
saw. amat memperhatikan terhadap masalah nama. Kapan saja beliau menjumpai
nama yang tidak menarik (patut) dan tak berarti, beliau mengubahnya dan memilih
beberapa nama yang pantas. Beliau mengubah macam-macam nama laki-laki dan
perempuan. Seperti dalam hadits yang disampaikan oleh Aisyah ra, bahwa
Rasulullah saw biasa merubah nama-nama yang tidak baik (H.R. Tirmidzi).
Tidak kalah penting juga, kita harus
mencukur dan Mencukur rambut dan bershodaqah, ‘Aqiqah dan khitan. Rasulullah bersabda, “Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya, disembelih pada hari
ketujuh, kemudian dicukur rambutnya dan diberi nama “ (H.R.
Tirmidzi). Dalam hal khitan, sabda Rasulullah
saw, “Sunnah fitrah
ada lima: khitan, mencukur bulu kemaluan, mencukur kumis, memotong kuku dan
mencabut bulu ketiak “ (H.R. Bukhori
dan Muslim).
Sedangkan khusus untuk isteri (Ibu), tugas
mulianya adalah menyusui. Allah swt. berfirman:
“Para ibu
hendaklah menysukan anak-anaknya dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan .. “ (Q.S.
Al-baqarah: 233).
Aktivitas
menyusui, selain ibu menyusukan air susu kepada anak, ia juga memberikan cinta
dan kasih sayang yang tidak dimiliki oleh orang lain. Berdasarkan hal inilah
dapat difahami hikmah Allah ketika Dia mengembalikan nabi Musa kepada ibunya
agar sang ibu menjadi tenang dan tidak bersedih. Allah swt. berfirman: “Maka
Kami kembalikan Musa kepada ibunya, supaya senang hatinya dan tidak berduka
cita dan supaya ia mengetahui bahwa janji Allah itu adalah benar, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (Q.S. Al qashas: 13).
Tugas mulia untuk suami (ayah) adaah
memberikan nafkah yang cukup. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. kepada
Hindun, ketika mengadu bahwa suaminya tidak memberi nafkah yang cukup, apakah
diperkenankan untuk mengambil harta suaminya, “Ambillah ( dari harta suamimu ) yang bisa mencukupimu dan anakmu
dengan cara yang baik “.
Seorang
ayah harus memberi nafkah harta yang baik dan dari mata pencaharian yang halal.
Berdasarkan sabda Rasul saw. “kedua kaki seorang hamba tidak akan
bergeser pada hari kiamat hingga ia ditanya tentang empat perkara; tentang
umurnya untuk apa ia habiskan, tentang ilmunya apa yang ia kerjakan dengannnya,
tentang hartanya dari mana ia mendapatkan dan untuk apa ia belanjakan, dan
tentang tubuhnya untuk apa ia pergunakan.” (H.R. Turmudzi).
Memberi
nafkah juga dapat dilakukan oleh seorang ibu, bilamana dalam rumah tangga ada
suatu hal yang memungkinkan dirinya untuk memberikan nafkah. Contohnya, bisa
keluarganya ditinggal mati suaminya dan hal-hal lainya. Diriwayatkan dari Ummu Salamah, ia berkata, aku
bertanya, wahai Rasulullah apakah aku mendapatkan pahala bila aku memberi
nafkah kepada anak-anak Abu Salamah, sedangkan aku tidak membiarkan mereka
begini dan begini-yakni bertebaran untuk mencari makan begini dan begini-karena
mereka itu juga anak-anakku? Beliau menjawab, “ya, kamu mendapatkan
pahala atas apa yang kamu nafkahkan.” (H.R.Bukhari).
Sedangkan
mendidik dan membina akhlak, akidah dan tauhid, serta pendidikan yang layak
adalah tugas bersama ibu dan ayahnya. Allah swt. berfirman: “Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan. “ (Q.S.
66 : 6).
Tugas ibu dan ayah yang terakhir adalah
menikahkan. Dalam proses mencari pasangan hidup anaknya, dianjurkan orangtua
dapat menasehati anaknya untuk mencari jodoh yang dikriteriakan oleh syarait
Islam. Bila anak telah memasuki usia siap nikah,
maka segera menikahkannya.
Jangan sampai orangtua memberbiarkan anaknya terjebak dalam naungan kemaksiatan.
Do'akan dan dorong mereka untuk hidup berkeluarga, tak perlu menunggu memasuki
usia senja. Bila muncul rasa khawatir tidak mendapat rezeki dan menanggung
beban berat kelurga, Allah berjanji akan menutupinya seiring dengan usaha dan
kerja keras yang dilakukannya.
Allah swt. berfirman: “Dan
kawinkanlah orang-orang yang sedirian di antara kamu, dan orang-orang yang
layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu
yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan
kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. “(Q.S. An-Nur [24]:
32).
Keselamatan iman jauh lebih layak
diutamakan daripada kekhawatiran-kekhawatiran yang sering
menghantui orangtua terhadap anaknya. Rasulullah dalam hal ini bersabda,
"Ada tiga perkara yang tidak boleh dilambatkan, yaitu: shalat, apabila
tiba waktunya, jenazah apabila sudah datang dan ketiga, seorang perempuan
apabila sudah memperoleh (jodohnya) yang cocok." (H.R. Tirmidzi).
Mendidik dan membina Anak, keutamaan Orangtua
Mendidik dan membina (tarbiayah Islamiah)
pada anak suatu keutamaan. Kisah berikut dapat menjadi ibrah buat
kita semua. Pada suatu kesempatan, Amirul Mukminin Umar bin Khaththab
kehadiran seorang tamu lelaki yang mengadukan kenakalan anaknya, "Anakku
ini sangat bandel." tuturnya kesal. Amirul Mukminin berkata, "Hai
Fulan, apakah kamu tidak takut kepada Allah karena berani melawan ayahmu dan
tidak memenuhi hak ayahmu?" Anak yang pintar ini menyela. "Hai Amirul
Mukminin, apakah orang tua tidak punya kewajiban memenuhi hak anak?"
Umar ra menjawab, "Ada tiga, yakni:
pertama, memilihkan ibu yang baik, jangan sampai kelak terhina akibat ibunya.
Kedua, memilihkan nama yang baik. Ketiga, mendidik mereka dengan
al-Qur'an."
Mendengar uraian dari Khalifah Umar r.a
anak tersebut menjawab, "Demi Allah, ayahku tidak memilihkan ibu yang baik
bagiku, akupun diberi nama "Kelelawar Jantan", sedang dia juga
mengabaikan pendidikan Islam padaku. Bahkan walau satu ayatpun aku tidak pernah
diajari olehnya. Lalu Umar menoleh kepada ayahnya seraya berkata, "Kau
telah berbuat durhaka kepada anakmu, sebelum ia berani kepadamu...." Mentarbiyah anak-anak diawali dengan
pembentukkan akidah, tauhid dan akhlak. Dalam konteks
keseluruhan hendaknya orang tua mengajarkan kitab Allah serta ilmu ilmu
agama dan dunia yang wajib dikuasainya. Dalam hal ibadah, pertama anak
diajarkan shalat.
Diriwayatkan
dari Ali ra bahwa Nabi saw. bersabda, “ajarkanlah tiga hal kepada
anak-anak kalian, yakni mencintai nabi kalian, mencintai keluarganya dan
membaca al-qur’an. Sebab, para pengusung al-qur’an berada di bawah naungan arsy
Allah pada hari dimana tidak ada naungan kecuali naunganNya, bersama para nabi
dan orang-orang pilihanNya. Dan, kedua orang tua yang memperhatikan pengajaran
al-qur’an kepada anak-anak mereka, keduanya mendapatkan pahala yang besar.”
Pembentukan anak shaleh dan shalehah juga
bagian dari pembentukan sosial. Keluarga Islami
harus menciptakan kondisi bagi perbaikan umat dan lingkungan
kiat berada.
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu
dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang
lebih baik. Sesungguhnya Rabbmu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa
yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk.” (Q.S. 16: 125).
Dengan kata lain
mendidik anakpanak hingga menjadi anak yang
saleh dan salehah. Yaitu anak yang akan menjadi hiasan keluarga dan
cahaya mata kedua orang tua. Allah swt. berfirman: “Dan orang orang
yang beriman berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami
isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai cahaya mata (Kami), dan
jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”. (Q.S. al-Furqon:
74).
Anak adalah aset berharga,
tumpuan dan harapan bagi orang tua di dunia
dan di akherat. Dengan mampu mentarbiyah anak sesuai dengan
syarat Islam, orangtua akan diangkatnya kedudukan menjadi
golongan yang mulia di sisi-Nya. Hal yang utamanya adalah
mengajarkan dan mendidik agar anak mendirikan shalat.
"Amal pertama yang dihisab dari seorang hamba
di hari kiamat adalah shalat. Dan barangsiapa yang baik shalatnya, maka baik
pula segala amalan yang lain, dan barangsiapa yang rusak (ditolak) shalatnya,
maka rusak (ditolak) pula segala amalan lainnya” (HR Thabrani)