Berbakti kepada Orangtua
Oleh: A. Ruhiat
hijabiworld.com |
bacasaza - Kehidupan
rumah tangga tidak selalu berinteraksi dengan isteri dan anak-anak. Adakalanya
suami berkewajiban berinteraksi dengan mertua dan
orangtuanya. Sampai kapan pun suami adalah anak bagi ibu bapaknya.
Selama mereka masih hidup, sudah suatu kewajiban anak berbakti kepada
orangtuanya.
Salah
satu bakti yang perlu dilakukan oleh seorang suami adalah bersilahturahmi
dengan ibu bapaknya. Jangan sampai, karena berumah tangga malah menjauhkan diri
dar orangtua. Meski tidak setiap waktu, suami harus memiliki agenda untuk
bersilahturahmi dengan orangtua, dan mengajak isteri dan anaknya untuk
berkunjung ke rumah orangtuanya.
Hal
ini dilakukan untuk mempererat anak dan orangtuanya, isteri dan besannya, cucu
dan kakeknya. Di samping itu, mempererat kekeluargaan dalam konteks keluarga
besar. Sebagaimana yang dijelaskan dalam beberapa hadits yang membahas bakti
anak laki-laki yang harus senantiasa berbakti kepada kedua orangtanya, sebab
bakti anak kepada ibu bapaknya adalah bentuk ketaatan kepada Allah.
Pada suatu ketika, ada seorang laki-laki
datang menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dia bersama seorang
laki-laki lanjut usia. Rasulullah bertanya, “Siapakah orang yang bersamamu?”
Maka jawab laki-laki itu, “Ini ayahku”. Rasulullah kemudian bersabda, “Janganlah
kamu berjalan di depannya, janganlah kamu duduk sebelum dia duduk,
dan janganlah kamu memanggil namanya dengan sembarangan serta janganlah kamu
menjadi penyebab dia mendapat cacian dari orang lain.” (H.R. Ath-Thabari).
Seorang anak yang sudah berkeluarga, masih
memiliki tanggungjawab menghormati orangtuanya. Meski sudah menjadi imam bagi
keluarga, anak laki-laki tetap tidak boleh melupakan kebaikan orangtua
terhadapnya. Apalagi berbuat ‘uquuqul walidain (durhaka kepada
orang tua), karena hal in termasuk dalam kategori dosa besar.
Bentuk kedurhakaan anak kepada ibu
bapaknya di antaranya adalah tidak mematuhi perintah, mengabaikan, menyakiti,
meremehkan, memandang dengan marah, mengucapkan kata-kata yang menyakitkan
perasaannya.
Sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur’an.
Allah swt. berfirman:
“Dan janganlah sekali-kali kamu
mengatakan ‘ah’ kepada orang tua.” (Q.S. Al-Isra’ : 23). Jika berkata ‘ah
dan huh’, atau semacamnya saja tidak boleh, apalagi melakukan tindakan atau
perbuatan kasar.
Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa
membuat hati orang tua sedih, berarti dia telah durhaka kepadanya.”
(H.R. Bukhari). Dalam kesempatan lain Rasulullah bersabda, “Termasuk
perbuatan durhaka seseorang yang membelalakkan matanya karena marah.” (H.R.
Ath Thabrani).
Sabda Rasulullah saw., “Seorang muslim
yang mempunyai kedua orang tua yang muslim, kemudian ia senantiasa berlaku baik
kepadanya, maka Allah berkenan membukakan dua pintu surga baginya. Kalau ia
memiliki satu orang tua saja, maka ia akan mendapatkan satu pintu surga
terbuka. Dan kalau ia membuat kemurkaan kedua orang tua maka Allah tidak ridha
kepada-Nya.” Maka ada seorang bertanya, “Walaupun keduanya berlaku zhalim
kepadanya?” Jawab Rasulullah, “Ya, sekalipun keduanya menzhaliminya.” (H.R.
Bukhari).
Dalam
Islam, ketaatan ditujukan hanya kepada Allah swt., kemudian
kepada Rasul-Nya. Setelah itu, seorang laki-laki wajib berbakti
kepada ibunya, kemudian kepada ayahnya. Hadis riwayat Abu Hurairah
r.a., ia berkata: Seseorang datang menghadap Rasulullah saw. dan bertanya:
Siapakah manusia yang paling berhak untuk aku pergauli dengan baik?
Rasulullah Saw. menjawab: “Ibumu.” Dia bertanya lagi:
Kemudian siapa? Rasulullah saw. menjawab: Kemudian ibumu. Dia
bertanya lagi: Kemudian siapa? Rasulullah saw. menjawab: Kemudian ibumu. Dia
bertanya lagi: Kemudian siapa? Rasulullah saw. menjawab lagi: Kemudian
ayahmu. (H.R. Muslim).
Dalam
hadits lain, diriwayatkan oleh Al-Hakim dan ditashih oleh
Al-Bazzar. Konon, Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah, “Hak
siapakah yang harus diutamakan oleh istri?” Rasulullah menjawab, “(hak)
suaminya.”. Lalu, Aisyah kembali bertanya, “Sedangkan bagi suami, hak
siapakah yang lebih utama?”. Beliau menjawab, “(hak) ibunya.”
Dengan
merujuk kepada keterangan hadits tersebut, bahwa suami sebagai anak laki-laki
bagi orangtuanya memiliki kewajiban besar untuk berbakti kepada orangtuanya,
terlebih kepada ibunya. Lalu bagaimana bentuk bakti suami bakti kepada ibu
bapaknya sedang ia sudah berumah tangga?
Di
antaranya adalah sering mengunjunginya, menghormati dan memuliakannya,
mendoakannya, menafkahkan rezekinya setelah terpenuhi kebutuhan rumah
tangganya, dan melakukan hal lain yang sekiranya memungkinkan untuk dilakukan
tanpa mengabaikan kewajibannya di rumah tangga.
Betapa
mulianya seorang ibu, sampai-sampai Rasul saw. pun menganjurkan kepada
seseorang yang ingin berperang untuk berbakti kepada orangtuanya. Hadis
riwayat Abdullah bin Umar ra., ia berkata: Seseorang datang menghadap Nabi
saw. memohon izin untuk ikut berperang. Nabi saw. bertanya: “Apakah
kedua orang tuamu masih hidup?”. Orang itu menjawab: Ya. Nabi saw.
bersabda: “Maka kepada keduanyalah kamu berperang (dengan berbakti
kepada mereka)”. (H.R. Muslim).
Syari’at Islam menempatkan hak-hak orang
tua atas anaknya begitu besar. Tidak hanya ketika sang anak masih bersama kedua
orang tuanya, tetapi juga ketika ia sudah berkeluarga dan hidup mandiri.
Hak-hak agung orangtua, khususnya ibu amat sebanding dengan besarnya jasa dan
pengorbanan yang telah mereka limpahkan. Maka begitu mulia Allah swt. dan
Rasul-Nya memerintahkan seorang anak untuk berbakti kepada orang tuanya.
Allah berfirman:
“Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada ibu bapakmu.”
(Q.S. An-Nisa: 36).
“Dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia, dan rendahkanlah dirimu terhadap
mereka berdua dengan penuh kasih sayang.” (Q.S. Al-Isra’: 23).
Dalam
konteks anak lelaki yang sudah berumah tangga, tentu kita harus proposional
dalam menunaikan kewajibannya. Di sisi lain kita sebagai suami di rumah tangga,
di sisi lain sebagai anak terhadap orangtua. Sehingga kedua kewajiban itu harus
ditunaikan sesuai dengan kondisi dan kemampuan yang ada.
Sedangkan
bentuk bakti anak kepada ibu bapaknya yang paling utama adalah keshaehannya.
Untuk mencapai derazat tinggi hingga di bawa ke alam akherat, seorang anak
harrus mampu menshalehkan dirinya. Karena denagan inilah kita bisa memuliakan ibu
bapak kita sampai di akherat nanti.
Berbakti kepada orang tua tak terbatas
ketika mereka masih hidup, tetapi bisa dilakukan setelah mereka wafat. Hal itu
pernah ditanyakan oleh seorang sahabat kepada Rasulullah saw. Maka Rasulullah
menjawab, “Yakni dengan mengirim doa (mendo’akan) dan memohonkan ampunan.
Menepati janji dan nadzar yang pernah diikrarkan kedua orang tua, memelihara
hubungan silaturahim sera memuliakan kawan dan kerabat orang taumu.” (H.R.
Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Rasulullah
saw. mengkategorikan bahwa anak shaleh sebagai amal perbuatan
manusia yang tidak akan terputus meskipun dia sudah meninggal dunia, di saat
amal-amal yang lain terputus. Rasulullah saw. bersabda, “Jika anak cucu
Adam meninggal dunia, maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga (perkara),
yaitu: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang
mendoakannya.” (H.R. Tirmidzi).
\Anak yang benar-benar shaleh mampu
mengangkat derajat orangtuanya yang sudah meninggal dunia, seperti disabdakan
oleh Baginda Rasulullah saw., Setelah seseorang meninggal dunia, derajatnya
akan ditinggikan, dia pun bertanya: ‘Wahai Tuhanku, kenapa derajatku
ditinggikan?’ maka dijawablah: ‘Anakmu telah memohonkan ampunan untukmu.’” (H.R.
Bukhari).