www.hijabiworld.com |
Di antaranya adalah sebagai sarana penyaluran insting dan libido yang
dibenarkan ilahi, membangunan generasi
dan masyarakat yang Islami, serta mewujudkan keseimbangan hidup dam
bingkai syariah.
Pernikahan
merupakan nikmat Allah atas hamba-Nya, di dalamnya tersimpan segala kebaikan
agama dan dunia. Maka itulah sebabnya mengapa Islam sangat menganjurkan
pernikahan, sebagaimana firman Allah Swt:
“Dan
nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang
patut (kawin) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin
Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas
(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (Q.S. An-Nur: 32).
Dalam hadits, dari Anas bin Malik r.a,
bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda,
"Jika
seorang hamba menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya; oleh
karena itu hendaklah ia bertakwa kepada Allah untuk separuh yang tersisa."
Dengan
demikian, betapa menikah itu amat utama dalam Islam. Untuk mencapai
kesempurnaan menikah dalam keluarga. Maka rumah tangga harus
dinaungi nilai-nilai ajaran Islam. Dengan kata lain, rumah tangga yang dikehendaki Allah Swt.
adalah rumah tangga yang didirikan di atas landasan akidah (iman dan takwa) dan
ibadah kepada Allah swt.
Anggota keluarga senantiasa bertemu dan berkumpulnya hanya karena Allah,
suami dengan isteri, orangtua dengan anak-anak, semuanya saling menasehati
dalam kebenaran dan kesabaran, serta saling menyuruh kepada yang ma’ruf dan
mencegah dari yang mungkar.
Maka rumah tangga yang ideal dalam Islam adalah rumah yang di dalamnya
terdapat sakinah, mawadah, dan rahmah (perasaan
tenang, cinta dan kasih sayang) yang berlandaskan akidah kepada Allah Swt.
Allah berfirman:
"Dan
di antara tanda-tanda (kebesaran)Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang
berfikir.” Q.S. Ar-Ruum: 21).
Sayangnya di jaman sekarang, prinsip rumah tangga yang sakinah, mawadah,
dan rahmah (samara) belum menjadi landasan berumah tangga.
Samara baru hanya diwujudkan sebatas lisan, belum terwujud dalam kehidupan
sehari-hari di tiap rumah tangga umat Islam masa kini.
Seiring derasnya aliran perkembangan jaman yang begitu modern dan dinamis,
dicirikan dengan gaya hidup serba instan, hegonis dan materilistik. Sudah
menjadi rahasia umum bahwa tren gaya hidup inilah yang masuk dengan mudah ke
rumah-rumah tangga umat Muslim, meracuni setiap pandangan hidup tiap anggota
keluarga. Lebih lebih mengkhatirkan, gaya hidup ini menjadi landasan hidup tiap
rumah tangga muslim.
Padahal bila kita simak dengan kacamata keimanan, gaya hidup serupa itu cenderung
membawa kita pada kehidupan yang berlebih-lebihan dan cenderung membawa kita ke
jalan kemudaratan, dan tentunya hal ini sangat dibenci Allah. betapa tidak, harta,
tahta dan wanita dipertuhankan. Aktivitas sehari-hari hanya disibukan dengan
mengejar kebahagiaan dan kenikmatan duniawi. Maka konsekuensi logisnya adalah
kita harus membayar mahal dengan meindahkan akidah, melalaikan nilai-nilai
Islam, dan mengabaikan ibadah kepada Allah swt.
Maka dampak dari sikap demikian, tidak sedikit kehidupan rumah tangga muslim
amat jauh dari penerapan agama. Tidak mustahil bila kita sadari bahwa volume
pelaksanaan ibadah kepada Allah menjadi amat kurang, pembinaan akhlak di
keluarga sangat tidak menentu dan cenderung jarang dilakukan, bahkan yang lebih
utama adalah terkikisnya akidah kita.
Dalam
hadits, Rasululah saw. bersabda, “Iman orang mukmin yang paling sempurna
adalah yang paling baik akhlaqnya”. Melalui ketarangan ini, selain kita
pandai beribadah kepada Allah, untuk menuju kehidupan rumah tangga yang
sempurna kita harus berakhlak baik.
Sebaliknya,
bila kondisi rumah tangga jauh dari akhlak karena pengaruh dari gaya hidup
modernitas yang cenderung menjauhkan kita kepada Allah, bukan suatu hal yang
mustahil di rumah-rumah tangga muslim sering terjadi konflik, antara suami dan
isteri atau orang tua dan anak selalu dihadapkan banyak persoalan disebabkan
oleh mengedepankan hawa nafsu untuk mencari harta dan kebahagiaan dunia belaka.
Bagaimana pun juga, bila gaya hidup materalistik dan hegeonis sudah menjadi
landasan hidup suatu rumah tangga, maka kita tidak akan pernah mendapat berkah.
Selamanya kita akan menjadi budak dunia, yang tidak akan pernah merasakan
kebahagiaan dan keharmonisan berkeluarga yang sebenarnya, yaitu sakinah,
mawadah, dan rahmah.
Padahal
Rasulullah Saw. bersabda: “Wahai Abu
Dzar. Apakah engkau menyangka karena banyak harta orang menjadi kaya?” Saya
(Abu Dzar) menjawab : “Ya, wahai Rasulullah”. Beliau bersabda: “Dan engkau menyangka, karena harta sedikit
orang menjadi miskin?” Saya (Abu Dzar) berkata: “Ya, wahai Rasulullah”. Beliau
bersabda: “Sesungguhnya kekayaan adalah kecukupan dalam hati, dan kemiskinan
adalah miskin hati” (HR Hakim dan Ibnu Hibban).
Allah Swt. berfirman:
"Sesungguhnya
Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya agar Kami
menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya".
(Q.S. Al Kahf :7).
Allah
memberikan berbagai kenikmatan dunia dan perhiasan lahiriah berupa harta,
anak-anak, isteri, kedudukan, kekuasaan dan berbagai macam kenikmatan lainnya,
yang seharusnya digunakan sebagai jalan untuk mendapat rida-Nya dan mencari
bekal untuk meraih kebahagiaan hidup di akhirat kelak.
Dari Tsauban, bahwa
Rasulullah saw. bersabda :
"Hendaklah di antara kalian memiliki hati
yang bersyukur, lisan yang berdzikir dan isteri yang shalihah yang membantu
dalam urusan akhirat". (H.R. Ahmad dan Ibnu Majah).
Realitasnya,
sebagian besar dari kita terlena dengan tujuan hidup di dunia saja. Perhatian
kita cenderung terpusat pada aspek lahiriah dan kenikmatan materi semata. Saban
hari, aktivitas kita disibukkan dengan mengejar harta dan kenikmatan dunia,
sampai lupa menyiapkan bekal untuk amal kehidupan sesudah mati. Padahal hidup
di dunia ini sangat singkat.
Allah Swt. berfirman.
"Dan tentu mereka akan mengatakan (pula)
“Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia saja, dan kita sekali-kali tidak akan
dibangkitkan”. (Q.S. Al An’am: 29].
Bahkan
Allah swt. mengancam orang-orang yang memiliki pandangan sempit terhadap dunia.
Allah swt. berfirman:
"Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia
dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka
di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak dirugikan. Itulah
orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di
akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia, dan sia-sialah apa yang
telah mereka kerjakan". (Q.S. Hud: 15-16).