Baca Kilas

Thursday, October 17, 2019

bacasaza

Mencari Nafkah: Sesuai Kemampuan dan Halal Toyiban


s3-ap-southeast-1.amazonawscom
Mencari nafkah sesuai dengan kemampuan
Untuk memantapkan ikhtiar. Suami perlu meyakini bahwa mencari nafkah itu adalah bagian dari ibadah yang bernilai pahala, maka cara mencari dan cara menafkahkannya pun harus benar-benar jauh dari perbuatan yang dibenci Allah swt. Betapa Dia akan membalas segala yang kita nafkahkan untuk isteri dan keluarga bila diniatkan semata-mata untuk mencari rida-Nya.   
Allah berfiman :
"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui." (Q.S. Al-Baqarah: 261).
Dalam firman lain, Allah  menegaskan:
Dan  Dialah  yang  telah  menjadikan  bumi  itu  mudah  bagi  kalian. Maka  berjalan  dan  berusahalah  di  segala  penjuru-Nya  dan makanlah dari  sebagian  rizki-Nya, dan  kepada-Nyalah  kalian (kembali)  dibangkitkan” (Q.S. Al-Mulk:15).
Ayat tersebut menerangkan bahwa di bumi ini terdapat segala rezeki-Nya. Dengan begitu, Allah menyeru kita untuk mencari rezeki-Nya dengan sungguh-sungguh. Maka jangan pernah takut pada hasil dari usaha kita dalam mencari rezeki, karena Allah swt. telah menyediakannya, tinggal kita saja yang harus giat mencarinya.
Dalam kehidupan rumah tangga sehari-hari, suami harus pula memiliki kepekaan untuk melakukan kebajikan kepada isterinya di berbagai kondisi. Kebajikan suami kepada isteri tidak terbatas memberikan kebahagiaan lahir dan batin, tetapi juga harus menjamin isterinya dapat merasakan kebahagiaan rohaniah (spiritual).
Kebajikan pertama seorang suami pada isterinya adalah dengan memberikan kebutuhan isterinya dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan kemampuan dan kesanggupannya. Dengan kata lain, suami tidak boleh berlebihan dalam mencari nafkah untuk keluarganya, apalagi suatu hal yang berlebihan itu bisa membawa pada kemudaratan bagi diri sendiri, keluarga atau pun orang lain.
Firman Allah Swt.:
‘’Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada isteri dengan cara ma’ruf, Seseorangtidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.’’ (Q.S.Al-Baqarah: 233).
 ‘’Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya.’’(Q.S. Ath-Thalaq: 7).
Sabda Rasulullah Saw.:
 ‘’Dan mereka (para istri) mempunyai hak diberi rizki dan pakaian (nafkah) yang diwajibkan atas kamu sekalian (wahai para suami).’’ (HR. Muslim).

Senantiasa mencari nafkah yang halal
Sebaliknya, bila kita mencari nafkah atau memakan makanan dengan cara yang haram. Maka kita tergolong pada orang-orang yang mengikuti langkah-langkah setan. Sebagaimana yang ditegaskan Allah melalui ayat berikut.
Allah Swt. berfiman:
Wahai manusia! Makanlah  dari  (makanan)  yang  terdapat  di bumi  yang  halal dan  baik  dan  janganlah  kamu  mengikuti  langkah-langkah  setan. Sungguh  setan  itu adalah  musuh  yang nyata bagimu.” (QS.Al-Baqarah: 168).
Dalam hadits Abu Hurairah r.a, bahwa Rasulullah Saw. Bersabda,
"Akan datang suatu masa pada umat manusia, mereka tidak lagi peduli dengan cara untuk mendapatkan harta, apakah melalui cara yang halal ataukah dengan cara yang haram". (H.R. Bukhari).
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga telah menyampaikan ancaman terhadap orang-orang yang memakan harta yang haram. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari harta yang haram. Neraka lebih pantas untuknya". (H.R. Ahmad).
Di dalam Al Qur’an, Allah marah terhadap orang-orang Yahudi, karena sifat mereka yang suka memakan harta haram. Allah berfirman: "Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, (lagi) banyak memakan yang haram". (Q.S. Al Maidah: 42).
Dalam sebuah hadits dari Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salalm bersabda, Tidak ada satu pun amalan yang mendekatkan kalian ke surga, melainkan telah aku perintahkan kalian kepadanya. Dan tidak ada satu pun amalan yang mendekatkan kalian ke neraka, melainkan aku telah melarang kalian darinya. Janganlah kalian menganggap rezeki kalian terhambat. Sesungguhnya, Malaikat Jibril telah mewahyukan ke dalam hati sanubariku, bahwa tidak ada seorang pun meninggalkan dunia ini, melainkan setelah sempurna rezekinya. Bertakwalah kamu kepada Allah, wahai sekalian manusia. Carilah rezeki dengan cara yang baik. Jika ada yang merasa rezekinya terhambat, maka janganlah ia mencari rezki dengan berbuat maksiat, karena karunia Allah tidaklah didapat dengan perbuatan maksiat. (H.R. Hakim).
Rumah, harta, perhiasan, makanan dan minuman dan segala yang diberikan untuk isteri harus dipastikan halal. Karena derazat kehalalan dan keharaman suatu hal yang sudah jelas dan mutlak. Dalam sebuah hadits dari An Nu'man bin Basyir r.a, Rasulullah Saw. menyatakan:
"Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram juga jelas. Di antara keduanya ada perkara-perkara syubhat yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Maka barangsiapa yang menjaga diri dari perkara syubhat, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan barangsiapa terjerumus dalam perkara syubhat, maka ia akan terjerumus kepada perkara haram". (Muttafaqun 'alaihi).
Tanggungjawab peran suami tidak hanya dituntut di dunia saja, melainkan akan diminta pertanggungjawaban di akherat kelak. Tiap manusia akan diminta pertanggungjawababnya dalam empat perkara. Hal inilah yang akan menentukan apakah kita akan berat timabangannya ke neraka atau ke surga.
Rasulullah Shallallahu saw. sangat menekankan agar umatnya mencari harta yang halal. Pasalnya, ada dua pertanyaan yang terarah berkaitan dengan harta itu, tentang asal harta dan bagaimana membelanjakannya. Dalam hadits Abu Barzah Al Aslami Radhiyallahu 'anhu, beliau bersabda, "Tidak akan bergeser tapak kaki seorang hamba pada hari Kiamat, sampai ia ditanya tentang empat perkara. (Yaitu): tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang jasadnya untuk apa ia gunakan, tentang hartanya darimana ia mendapatkannya dan kemanakah ia meletakkannya, dan tentang ilmunya, apakah yang telah ia amalkan". (H.R. Tirmidzi).
Di zaman Nabi, Rasulullah dan para sahabat telah mencontohkan prinsip utama tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Betapa tegasnya Rasul dan parra sahabat dalam memperhatikan urusan rezeki ini. Dari Anas bin Malik r.a diceritakan bahwa Rasulullah saw. mendapat kurma di jalan. Maka Beliau bersabda, "Andaikata saya tidak khawatir kurma itu dari harta sedekah, niscaya saya makan". (Muttafaqun 'alaihi)
Sikap wara', menghindari sesuatu yang masih meragukan statusnya dicontohkan langsung oleh Rasulullah saw. mendidik cucunya Al Hasan agar tidak memakan dari harta yang haram. Diriwayatkan dari Abul Hauraa', bahwa ia bertanya kepada Al Hasan r.a, "Adakah sesuatu yang engkau ingat dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ?" Al Hasan menjawab,”Aku masih ingat, (yaitu) ketika aku mengambil sebiji kurma dari harta zakat, lalu aku masukkan ke dalam mulutku. Rasulullah mengeluarkan kurma itu beserta saripatinya, lalu mengembalikannya ke tempat semula. Ada yang berkata: ‘Wahai, Rasulullah. Tidaklah mengapa kurma itu dimakan oleh bocah kecil ini?’ Rasulullah berkata: ‘Sesungguhnya, keluarga Muhammad tidak halal memakan harta zakat’."


Selanjutnya
« Prev Post
Sebelumnya
Next Post »