Untuk memantapkan ikhtiar. Suami perlu meyakini bahwa
mencari nafkah itu adalah bagian dari ibadah yang bernilai pahala, maka cara
mencari dan cara menafkahkannya pun harus benar-benar jauh dari perbuatan yang
dibenci Allah swt. Betapa Dia akan membalas segala yang kita nafkahkan untuk
isteri dan keluarga bila diniatkan semata-mata untuk mencari rida-Nya.
Allah berfiman :
"Perumpamaan (nafkah yang
dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah
serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir
seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki.
Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui." (Q.S. Al-Baqarah: 261).
Dalam firman lain, Allah menegaskan:
“Dan Dialah yang telah
menjadikan bumi itu mudah bagi kalian. Maka
berjalan dan berusahalah di segala penjuru-Nya
dan makanlah dari sebagian rizki-Nya, dan
kepada-Nyalah kalian (kembali) dibangkitkan” (Q.S. Al-Mulk:15).
Ayat tersebut menerangkan bahwa
di bumi ini terdapat segala rezeki-Nya. Dengan begitu, Allah menyeru kita untuk
mencari rezeki-Nya dengan sungguh-sungguh. Maka jangan pernah takut pada hasil
dari usaha kita dalam mencari rezeki, karena Allah swt. telah menyediakannya,
tinggal kita saja yang harus giat mencarinya.
Dalam kehidupan rumah
tangga sehari-hari, suami harus pula memiliki kepekaan untuk melakukan
kebajikan kepada isterinya di berbagai kondisi. Kebajikan suami kepada isteri
tidak terbatas memberikan kebahagiaan lahir dan batin, tetapi juga harus
menjamin isterinya dapat merasakan kebahagiaan rohaniah (spiritual).
Kebajikan pertama
seorang suami pada isterinya adalah dengan memberikan kebutuhan isterinya dalam
kehidupan sehari-hari sesuai dengan kemampuan dan kesanggupannya. Dengan kata
lain, suami tidak boleh berlebihan dalam mencari nafkah untuk keluarganya,
apalagi suatu hal yang berlebihan itu bisa membawa pada kemudaratan bagi diri
sendiri, keluarga atau pun orang lain.
Firman Allah Swt.:
‘’Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada isteri dengan cara ma’ruf, Seseorangtidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya.’’ (Q.S.Al-Baqarah: 233).
‘’Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah
menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi
nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban
kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya.’’(Q.S. Ath-Thalaq: 7).
Sabda Rasulullah Saw.:
‘’Dan
mereka (para istri) mempunyai hak diberi rizki dan pakaian (nafkah) yang
diwajibkan atas kamu sekalian (wahai para suami).’’ (HR. Muslim).
Senantiasa mencari
nafkah yang halal
Sebaliknya, bila kita mencari
nafkah atau memakan makanan dengan cara yang haram. Maka kita tergolong pada
orang-orang yang mengikuti langkah-langkah setan. Sebagaimana yang ditegaskan
Allah melalui ayat berikut.
Allah Swt. berfiman:
Wahai manusia! Makanlah
dari (makanan) yang terdapat di bumi yang
halal dan baik dan janganlah kamu mengikuti
langkah-langkah setan. Sungguh setan itu adalah
musuh yang nyata bagimu.” (QS.Al-Baqarah: 168).
Dalam hadits Abu Hurairah
r.a,
bahwa Rasulullah Saw. Bersabda,
"Akan datang suatu masa pada umat manusia, mereka
tidak lagi peduli dengan cara untuk mendapatkan harta, apakah melalui cara yang
halal ataukah dengan cara yang haram". (H.R. Bukhari).
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga telah
menyampaikan ancaman terhadap orang-orang yang memakan harta yang haram. Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya tidak akan
masuk surga daging yang tumbuh dari harta yang haram. Neraka lebih pantas untuknya". (H.R. Ahmad).
Di dalam Al Qur’an, Allah marah terhadap orang-orang Yahudi,
karena sifat mereka yang suka memakan harta haram. Allah berfirman: "Mereka
itu adalah orang-orang yang suka
mendengar berita bohong, (lagi) banyak memakan yang haram". (Q.S.
Al
Maidah: 42).
Dalam sebuah hadits dari Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu
'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salalm bersabda, “Tidak ada satu pun amalan yang mendekatkan
kalian ke surga, melainkan telah aku perintahkan kalian kepadanya. Dan tidak
ada satu pun amalan yang mendekatkan kalian ke neraka, melainkan aku telah
melarang kalian darinya. Janganlah kalian menganggap rezeki kalian terhambat.
Sesungguhnya, Malaikat Jibril telah mewahyukan ke dalam hati sanubariku, bahwa
tidak ada seorang pun meninggalkan dunia ini, melainkan setelah sempurna
rezekinya. Bertakwalah kamu kepada Allah, wahai sekalian manusia. Carilah
rezeki dengan cara yang baik. Jika ada yang merasa rezekinya terhambat, maka
janganlah ia mencari rezki dengan berbuat maksiat, karena karunia Allah
tidaklah didapat dengan perbuatan maksiat. (H.R. Hakim).
Rumah, harta, perhiasan, makanan
dan minuman dan segala yang diberikan untuk isteri harus dipastikan halal.
Karena derazat kehalalan dan keharaman suatu hal yang sudah jelas dan mutlak. Dalam sebuah
hadits dari An Nu'man bin Basyir r.a, Rasulullah Saw. menyatakan:
"Sesungguhnya yang halal
itu jelas dan yang haram juga jelas. Di antara keduanya ada perkara-perkara syubhat yang
tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Maka barangsiapa yang menjaga diri
dari perkara syubhat, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya.
Dan barangsiapa terjerumus dalam perkara syubhat, maka ia akan terjerumus
kepada perkara haram". (Muttafaqun 'alaihi).
Tanggungjawab peran suami tidak hanya dituntut di dunia
saja, melainkan akan diminta pertanggungjawaban di akherat kelak. Tiap manusia
akan diminta pertanggungjawababnya dalam empat perkara. Hal inilah yang akan
menentukan apakah kita akan berat timabangannya ke neraka atau ke surga.
Rasulullah Shallallahu saw. sangat
menekankan agar umatnya mencari harta yang halal. Pasalnya, ada dua pertanyaan
yang terarah berkaitan dengan harta itu, tentang asal harta dan bagaimana
membelanjakannya. Dalam hadits Abu Barzah Al Aslami Radhiyallahu 'anhu, beliau
bersabda, "Tidak akan bergeser tapak kaki seorang hamba pada hari Kiamat, sampai ia ditanya
tentang empat perkara. (Yaitu): tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang
jasadnya untuk apa ia gunakan, tentang hartanya darimana ia mendapatkannya dan
kemanakah ia meletakkannya, dan tentang ilmunya, apakah yang telah ia
amalkan". (H.R. Tirmidzi).
Di zaman Nabi, Rasulullah
dan para sahabat telah mencontohkan prinsip utama tersebut dalam
kehidupan sehari-hari. Betapa tegasnya Rasul
dan parra sahabat dalam memperhatikan urusan rezeki ini. Dari Anas bin
Malik r.a diceritakan bahwa Rasulullah saw.
mendapat
kurma di jalan. Maka Beliau bersabda, "Andaikata saya tidak
khawatir kurma itu dari harta sedekah, niscaya saya makan". (Muttafaqun 'alaihi)
Sikap wara', menghindari sesuatu yang masih
meragukan statusnya dicontohkan langsung oleh Rasulullah saw.
mendidik
cucunya Al Hasan agar tidak memakan dari harta yang
haram. Diriwayatkan dari Abul Hauraa', bahwa ia bertanya kepada Al Hasan r.a, "Adakah sesuatu yang engkau ingat dari
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ?" Al Hasan menjawab,”Aku
masih ingat, (yaitu) ketika aku mengambil sebiji kurma dari harta zakat, lalu
aku masukkan ke dalam mulutku. Rasulullah mengeluarkan kurma itu beserta
saripatinya, lalu mengembalikannya ke tempat semula. Ada yang berkata: ‘Wahai,
Rasulullah. Tidaklah mengapa kurma itu dimakan oleh bocah kecil ini?’
Rasulullah berkata: ‘Sesungguhnya,
keluarga Muhammad tidak halal memakan harta zakat’."