Mencari Nafkah Itu Ibadah
Oleh: A.Ruhiat
Oleh: A.Ruhiat
www.aboutislam.net |
Bacasaza - Tiap lisan dan gerak
seorang suami dalam kehidupan rumah tangga adalah amalan bagi dirinya. Begitu
juga dalam mencari nafkah. Namun demikian, kita perlu menyadari apakah amalan
ini bernilai pahala atau suatu hal yang sia-sia di mata Allah swt. Pastinya,
bila segala yang dilakukannya berdasarkan keimanan dan ketaqwaan kepada-Nya,
amalan itu akan senantiasa bernilai pahala.
Betapa meruginya bila
segala yang dilakukan suami untuk memenuhi tanggungjawabnya di rumah tangga
bernilai amalan yang sia-sia menurut pandangan Allah swt., dikarenakan niat dan
tujuannya hanya sebatas melaksanakan tuntutan perannya sebagai suami tanpa
didasari oleh ketaatan kepada-Nya.
Adapun ciri segala usaha
suami yang bernilai pahala yang sia-sia bahkan cenderung bernilai dosa. Pertama, ia yang bersusah payah mencari
nafkah dengan menghalalkan segala cara. Atas dasar seorang yang memiliki
tanggungjawab kelangsungan hidup dan kesejahteraan isteri dan keluarganya, ia
melalaikan ketentuan Allah dalam menjemput rezeki-Nya.
Kedua,
ia yang mampu menafkahi isteri dan keluarganya dengan cara yang halal tapi di
waktu yang sama ia lupa dan lalai atas kewajibanya pokoknya seperti mendirikan
shalat dan melakanakan ibadah sunah lainnya. Mencari nafkah dijadikan aktivitas
dan rutinitas utama dalam kehidupan sehari-harinya, sedangkan dalam urusan
melaksanakan ibadah wajib dan sunah tidak pernah diperhatikan.
Ketiga, ia yang mampu membawa
kebahagiaan isteri dan keluarganya hanya sebatas untuk urusan duniawi saja.
Sedangkan ia melupakan tanggungjawab uatama lainnya dalam mengajak, membimbing
dan mendidik isteri dan anaknya untuk senantiasa mengenal dan dekat kepada
Allah swt.
Dalam Islam, suami tidak
hanya dituntut untuk mampu berusaha mencari nafkah untuk memenui kebutuhan
hidup keluarganya, tetapi juga harus mampu mengajak, membimbing dan mendidik
anak- dan isterinya menjalankan perintah-Nya dan menjauhi segala larangannya.
Dengan kata lain, suami harus mampu melakukan manajemen iman sebagai dasar awal
menjalankan seluruh peranannya.
Dengan mampu mengatur keimanan
dan ketaqwaan, apa pun yang dilakukan suami niscaya akan bernilai ibadah dan
pahala yang besar dari Allah swt. Jangan sampai rutinitas sehari-hari untuk
kepentingan duniawi membuat kita terlena, bahkan menjauhkan diri dari Allah
swt. Karena mencari nafkah (bekerja, berniaga, menjadi pejabat, dosen, guru, pengusaha,
dll) hanya menjadi salah satu penghantar ibadah dan beramal untuk bekal di
kehidupan akherat nanti.
Dan Allah hanya akan menganugerahkan
kehidupan yang bahagia kepada hamba-Nya yang
mendasari seluruh amal dan kegiatannya dengan iman, sebagaimana ditegaskan
dalam firman-Nya.
“Barangsiapa
yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik
(bahagia) dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala
yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS
An-Nahl [16]: 97).
Lihat juga QS Al-A’raaf (7): 96.
Suami yang mencari
nafkah sebagai tanggungjawabnya di rumah tangga dengan segenap kemampuan berdasarkan keimanan
adalah sosok suami yang taat kepada-Nya. Suami yang taat kepada Allah swt. senantiasa
akan menebarkan rahmat-Nya di rumah tangga.
Ia menyadari sunatullah-nya sebagai imam (pemimpin)
yang diberi tanggungjawab untuk dapat mengurusi keluarganya dengan penuh kasih
sayang dan lembut dalam berperilaku. Tanggung jawab sebagai imam keluarga,
suami harus mampu membawa isteri dan anak-anaknya mampu menjalani kehidupan di
jalan-Nya.
Sabda Rasulullah saw.:
Ibnu Umar dari Nabi saw. bahwa Rasul
bersabda: '...Seorang
suami adalah pemimpin dalam mengurusi keluarganya. Ia bertanggung jawab atas
yang dipimpinnya..." (Muttallaq 'alai).