Baca Kilas

Thursday, October 24, 2019

bacasaza

Menikah Itu Sempurnakan Separoh Agama

Menikah Itu Sempurnakan Separoh Agama 

Penulis: A. Ruhiat
www.hijabiworld.com
Bacasaza - Berumah tanggga dan berkeluarga merupakan sunnatullah. Bahkan sangat dianjurkan Rasulullah saw. yang harus diikuti oleh setiap umat-Nya. Dalam Islam, berumah tangga dengan diawali pernikahan yang syar’i, bertujuan agar kita termasuk dalam golongan umat yang memenuhi hak kemanusiaannya.
Di antaranya adalah sebagai sarana penyaluran insting dan libido yang dibenarkan ilahi, membangunan generasi  dan masyarakat yang Islami, serta mewujudkan keseimbangan hidup dam bingkai syariah.
Pernikahan merupakan nikmat Allah atas hamba-Nya, di dalamnya tersimpan segala kebaikan agama dan dunia. Maka itulah sebabnya mengapa Islam sangat menganjurkan pernikahan, sebagaimana firman Allah Swt:
Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang patut (kawin) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (Q.S. An-Nur: 32).
Dalam hadits, dari Anas bin Malik r.a, bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda,
"Jika seorang hamba menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya; oleh karena itu hendaklah ia bertakwa kepada Allah untuk separuh yang tersisa."
Dengan demikian, betapa menikah itu amat utama dalam Islam. Untuk mencapai kesempurnaan menikah dalam keluarga. Maka rumah tangga harus dinaungi nilai-nilai ajaran Islam. Dengan kata lain,  rumah tangga yang dikehendaki Allah Swt. adalah rumah tangga yang didirikan di atas landasan akidah (iman dan takwa) dan ibadah kepada Allah swt.
Anggota keluarga senantiasa bertemu dan berkumpulnya hanya karena Allah, suami dengan isteri, orangtua dengan anak-anak, semuanya saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran, serta saling menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar.
Maka rumah tangga yang ideal dalam Islam adalah rumah yang di dalamnya terdapat sakinah, mawadah, dan rahmah (perasaan tenang, cinta dan kasih sayang) yang berlandaskan akidah kepada Allah Swt.
Allah berfirman:  
"Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” Q.S. Ar-Ruum: 21).
Sayangnya di jaman sekarang, prinsip rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan rahmah (samara) belum menjadi landasan berumah tangga. Samara baru hanya diwujudkan sebatas lisan, belum terwujud dalam kehidupan sehari-hari di tiap rumah tangga umat Islam masa kini.
Seiring derasnya aliran perkembangan jaman yang begitu modern dan dinamis, dicirikan dengan gaya hidup serba instan, hegonis dan materilistik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa tren gaya hidup inilah yang masuk dengan mudah ke rumah-rumah tangga umat Muslim, meracuni setiap pandangan hidup tiap anggota keluarga. Lebih lebih mengkhatirkan, gaya hidup ini menjadi landasan hidup tiap rumah tangga muslim.
Padahal bila kita simak dengan kacamata keimanan, gaya hidup serupa itu cenderung membawa kita pada kehidupan yang berlebih-lebihan dan cenderung membawa kita ke jalan kemudaratan, dan tentunya hal ini sangat dibenci Allah. betapa tidak, harta, tahta dan wanita dipertuhankan. Aktivitas sehari-hari hanya disibukan dengan mengejar kebahagiaan dan kenikmatan duniawi. Maka konsekuensi logisnya adalah kita harus membayar mahal dengan meindahkan akidah, melalaikan nilai-nilai Islam, dan mengabaikan ibadah kepada Allah swt.
Maka dampak dari sikap demikian, tidak sedikit kehidupan rumah tangga muslim amat jauh dari penerapan agama. Tidak mustahil bila kita sadari bahwa volume pelaksanaan ibadah kepada Allah menjadi amat kurang, pembinaan akhlak di keluarga sangat tidak menentu dan cenderung jarang dilakukan, bahkan yang lebih utama adalah terkikisnya akidah kita.
Dalam hadits, Rasululah saw. bersabda, “Iman orang mukmin yang paling sempurna adalah yang paling baik akhlaqnya”. Melalui ketarangan ini, selain kita pandai beribadah kepada Allah, untuk menuju kehidupan rumah tangga yang sempurna kita harus berakhlak baik.
Sebaliknya, bila kondisi rumah tangga jauh dari akhlak karena pengaruh dari gaya hidup modernitas yang cenderung menjauhkan kita kepada Allah, bukan suatu hal yang mustahil di rumah-rumah tangga muslim sering terjadi konflik, antara suami dan isteri atau orang tua dan anak selalu dihadapkan banyak persoalan disebabkan oleh mengedepankan hawa nafsu untuk mencari harta dan kebahagiaan dunia belaka.
Bagaimana pun juga, bila gaya hidup materalistik dan hegeonis sudah menjadi landasan hidup suatu rumah tangga, maka kita tidak akan pernah mendapat berkah. Selamanya kita akan menjadi budak dunia, yang tidak akan pernah merasakan kebahagiaan dan keharmonisan berkeluarga yang sebenarnya, yaitu sakinah, mawadah, dan rahmah.
Padahal Rasulullah Saw. bersabda: “Wahai Abu Dzar. Apakah engkau menyangka karena banyak harta orang menjadi kaya?” Saya (Abu Dzar) menjawab : “Ya, wahai Rasulullah”. Beliau bersabda: “Dan engkau menyangka, karena harta sedikit orang menjadi miskin?” Saya (Abu Dzar) berkata: “Ya, wahai Rasulullah”. Beliau bersabda: “Sesungguhnya kekayaan adalah kecukupan dalam hati, dan kemiskinan adalah miskin hati” (HR Hakim dan Ibnu Hibban).
Allah Swt. berfirman:
"Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya". (Q.S. Al Kahf :7).
Allah memberikan berbagai kenikmatan dunia dan perhiasan lahiriah berupa harta, anak-anak, isteri, kedudukan, kekuasaan dan berbagai macam kenikmatan lainnya, yang seharusnya digunakan sebagai jalan untuk mendapat rida-Nya dan mencari bekal untuk meraih kebahagiaan hidup di akhirat kelak.
Dari Tsauban, bahwa Rasulullah saw. bersabda :
"Hendaklah di antara kalian memiliki hati yang bersyukur, lisan yang berdzikir dan isteri yang shalihah yang membantu dalam urusan akhirat". (H.R. Ahmad dan Ibnu Majah).
Realitasnya, sebagian besar dari kita terlena dengan tujuan hidup di dunia saja. Perhatian kita cenderung terpusat pada aspek lahiriah dan kenikmatan materi semata. Saban hari, aktivitas kita disibukkan dengan mengejar harta dan kenikmatan dunia, sampai lupa menyiapkan bekal untuk amal kehidupan sesudah mati. Padahal hidup di dunia ini sangat singkat.
Allah Swt. berfirman.
"Dan tentu mereka akan mengatakan (pula) “Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia saja, dan kita sekali-kali tidak akan dibangkitkan”. (Q.S. Al An’am: 29].
Bahkan Allah swt. mengancam orang-orang yang memiliki pandangan sempit terhadap dunia.
Allah swt. berfirman:
"Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia, dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan". (Q.S. Hud: 15-16).


Selanjutnya
« Prev Post
Sebelumnya
Next Post »